Gempa yang mengguncang Yogya 27 Mei silam
telah melumpuhkan Museum Biologi UGM di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta.
Bagaimana tidak, seluruh rencana yang telah tersusun rapi terpaksa harus
terhenti. Upaya untuk mempercantik museum agar pengunjung merasa nyaman
misalnya, kini mandeg. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter itu telah membuat
beberapa bagian bangunan museum mengalami kerusakan. Berbagai koleksi awetan
basah pun ikut tumpah.
Hasil rapid assessment Tim Assesment Bangunan
dan Infrastruktur dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM seperti yang
terpampang di pintu masuk Museum Biologi -- menyebutkan, Gedung Museum Layak
Pakai Setelah Perbaikan. Karena itulah Fakultas Biologi UGM selaku pengelola
Museum Biologi, memutuskan menutup museum, meski hanya untuk sementara waktu
saja.
Sebenarnya kita sedang membenahi museum.
Bahkan kita sudah membuat proposal tentang optimalisasi sumber daya Museum
Biologi UGM. Tapi kebetulan ada gempa. Meski tidak merusak koleksi tapi gempa
membuat koleksi basah tumpah. Lalu dinding kayu bagian depan mengkah, seperti
mau lepas, copot dari tembok. Ini yang membuat kita takut kalau mau masuk ke
sana,jelas Dekan Fakultas Biologi UGM, Dr. Siti Sumarmi, di ruang kerjanya,
Selasa (1/8). Dia didampingi oleh Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. RC Hidayat
Soesilohadi, MS.
Menutup museum, meski bersifat sementara,
diakui Bu Mamiek sapaan akrab Siti Sumarmi merupakan keputusan yang cukup berat. Terlebih ketika hal itu
dilakukan menjelang liburan sekolah tiba. Pasalnya, Museum Biologi UGM telah
menjadi alamat libur bagi para siswa dari berbagai sekolah, mulai dari tingkat
TK hingga SMTA.
Adalah faktor kedekatan dengan kehidupan
keseharian dan lingkungan, kata Hidayat, yang membuat Museum Biologi UGM
menjadi salah satu obyek yang wajib dikunjungi para siswa ketika berwisata ke
Yogyakarta. Maka tidak mengherankan jika trend kunjungan meningkat dari tahun
ke tahun. Dan sudah pasti lonjakan kunjungan terjadi ketika liburan sekolah
tiba.
Data dari Museum Biologi UGM menyebutkan
selama tahun 2002, museum ini telah dikunjungi oleh 8.260 pengunjung. Tahun
2003 dengan 10.675 pengunjung. Selama tahun 2004 tercatat 14.567 pengunjung.
Tahun 2005 dengan 14.508 pengunjung. Dan tahun 2006, sebelum tragedi gempa yang
meluluhlantakkan Yogya, Museum Biologi UGM telah dikunjungi 5.305 pengunjung.
Kemarin Pak Rektor mengatakan renovasi akan
fifty-fifty. Fakultas 50, universitas 50. Saya tidak tahu apakah ini termasuk
untuk museum. Tapi apapun hasilnya, kita usahakan untuk memperbaikinya. Kita
akan secepatnya buka. Sedih juga, setiap hari telpon selalu berdering, kapan
museum akan dibuka lagi. Kita sudah menolak beberapa calon pengunjung, dan itu
kan nggak enak ya, papar Bu Mamiek.
Pengabdian fakultas
Seperti keberadaan museum lainnya, Museum
Biologi UGM juga menyimpan kisah menarik. Drs. Anton Sukahar, mantan Kepala
Museum Biologi, mengisahkan, semua bermula dari berbagai koleksi milik Fakultas
Biologi UGM. Saat itu, koleksi hayati tersimpan di fakultas yang masih
menempati Komplek Ngasem, atau lazim disebut Conga. Koleksi hewani menempati
salah satu ruangan sekolah yang terletak di Sekip. Sedangkan koleksi herbarium
ada di sebagian ruangan di Jalan Sultan Agung 22 Yogya. Adalah Prof. Ir. Moeso
Suryonoto yang memimpin koleksi herbarium. Prof. Ir. Gembong memimpin koleksi
tumbuhan. Sedangkan koleksi Ngasem dipimpin oleh Prof. Drg. Indrayana dan Prof.
Drs. Radioputro. Koleksi Sekip juga dipimpin oleh Prof. Drg. Indrayana.
Saya dan Dekan Fakultas Biologi UGM saat itu,
Ir. Suryo Adisewoyo, ingin semua koleksi dibawa ke Sultan Agung, karena di sana
ada ruangan yang kosong. Lalu saya ditugasi mindahi ke sana. Oleh Prof. Moeso,
koleksi yang sudah terkumpul ini dinamakan, museum. Kalau siapa pendirinya, ya
Yayasan Pembina Fakultas Biologi UGM. Peresmiannya, 20 September 1969, setelah
Dies Natalis Fakultas Biologi, papar Pak Anton , di kediamannya, Jumat (4/8).
Pak Anton juga mengisahkan, awalnya koleksi
museum hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu, praktik mahasiswa. Lalu
menjelang tahun 1970, guru-guru sekolah menginginkan museum dibuka untuk
siswa-siswa sekolah. Atas persetujuan Dekan Fakultas Biologi UGM, museum pun
dibuka untuk umum. Awalnya semua gratis. Lalu pengunjung ditarik biaya meski
jumlahnya sangat minim. Pemikiran komersial sama sekali tidak ada karena dari
awal, museum ini memang untuk pengabdian fakultas, untuk Tri Dharma Perguruan
Tinggi, sekaligus menjadi ajang promo bagi Fakultas Biologi, katanya.
Seiring bilangan tahun, koleksi museum terus
bertambah. Pak Anton, para dosen dan mahasiswa, serta karyawan museum getol
menambah dan mengembangkan koleksi. Museum juga membuka diri, menerima
sumbangan koleksi dari BKSDA, kebun binatang dan masyarakat, bahkan dari luar
negeri. Kerangka badak Jawa, dugong atau lembu laut, orang hutan, gorila,
berbagai awetan basah, awetan kering, fosil, koleksi flora, lalu foto
legendaris ular python menelan orang adalah beberapa koleksi tak ternilai, yang
mampu menyedot perhatian pengunjung museum.
Museum Biologi pun jadi tersohor. Guru dan
siswa senang berkunjung. Didukung oleh tenaga ilmiah yang ada, masuk museum
seperti mendapat pencerahan. Karena itu, fakultas dan universitas seharusnya
lebih serius meningkatkan museum, termasuk soal koleksi dan tenaga-tenaga
ahlinya, papar Pak Anton yang masih mengingat dengan baik, jika semasa kuliah
dahulu Rektor UGM, Prof. Dr. Sofian Effendi MPIA, rajin mengunjungi Museum
Biologi UGM.
Tak kalah menarik dari koleksi museum adalah
soal bangunan museum. Jejak-jejak sejarah menunjukkan bangunan Museum Biologi
UGM merupakan salah satu peninggalan bangunan Indis yang masih tersisa di
kawasan cagar budaya Bintaran. Hasil Pendataan/Pendokumentasian Bangunan Indis
di Kawasan Bintaran Yogyakarta yang dilakukan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah
dan Purbakala DIY pada tahun 1997 menyebutkan, gedung museum merupakan salah
satu fasilitas perumahan opsir Belanda yang dibangun pada tahun 1890.
Fungsinya, untuk mengawasi aktivitas Kraton Pakualaman.
Berdiri di atas lahan seluas 50 x 30 m2,
Museum Biologi UGM terdiri dari bangunan induk, bangunan sayap dan belakang.
Luas bangunan induk 31 x 14 m2. Bangunan inilah yang difungsikan sebagai
museum. Sedangkan bangunan sayap dan belakang dengan atap sirap difungsikan
sebagai rumah tinggal. Bangunan induk mengalami perubahan dan penambahan,
terutama pada bagian beranda depan/teras, berupa penambahan papan kayu yang
dilengkapi jendela dari kaca dan pintu.
Lazimnya sebuah bangunan Indis, pada Museum
Biologi UGM juga dijumpai pintu dan jendela dengan ukuran besar, serta tritisan
relatif sempit. Dinding museum adalah pasangan bata tebal. Ada pula tiang besi
berhias, balastrude teralis besi yang menjadi satu kesatuan dengan tiang besi,
dan lisplank hias. Tiang besi berhias adalah produk negara asal/Belanda. Lalu
ada pula konsol dari besi plat berbentuk sulur-suluran.
Dari www.faperta.ugm.ac.id diketahui bahwa
bangunan Museum Biologi UGM juga pernah digunakan sebagai Akademi Pertanian di
Yogyakarta.
Terus berbenah
Kini, tak kurang dari 3.752 koleksi menyesaki
ruangan Museum Biologi UGM. Jumlah yang cukup lumayan untuk sebuah ruangan yang
sebenarnya tak terlalu luas. Adakah rencana untuk memperluas atau bahkan
memindahkan museum ke lingkungan kampus?
Itu sudah rencana. Waktu Rektornya Prof.
Jacob bahkan sudah akan dibangun. Namanya, Natural History Museum. Koleksinya
Prof. Jacob digabung dengan koleksi Museum Biologi. Gambarnya sudah ada.
Rencananya 4 lantai. Tempatnya dekat kantor Prof. Jacob. Waktu itu sudah sampai
tingkat presentasi. Tapi lagi-lagi terbentur dana karena terjadi perbedaan kurs
dolar, papar Bu Mamiek.
Sekarang, tiada pilihan lain kecuali
membenahi museum. Hal pertama yang harus dilakukan, menurut Bu Mamiek, adalah
menata fisik dan kebersihan museum. Utamanya, agar pengunjung merasa nyaman.
Pengecatan ulang adalah salah upaya yang dilakukan. Lalu identifikasi dan
penataan kembali seluruh koleksi. Butuh waktu dan bukan hal yang gampang
dilakukan karena tak sembarang orang bisa melakukannya.
Koleksi museum harus bisa jadi referensi.
Karakter yang bisa membedakan tetap tak boleh hilang. Saya sudah bilang ke pak
Hartanto (Kepala Museum Biologi UGM, red) untuk membuat kegiatan di museum.
Bulan ini kita ingin tonjolkan apa, sehingga yang dipamerkan hanya koleksi itu.
Yang lain kita simpan supaya pengunjung bisa melihat dengan nyaman. Tidak
seperti sekarang, semua koleksi ditaruh di luar. Itu kan pengunjung seperti
dijejeli, papar Bu Mamiek.
Tak hanya itu, kata Hidayat, saat ini tengah
disusun Tim Museum dengan jumlah yang cukup untuk mengembangkan museum.
Keberadaan tenaga ahli menjadi penting karena Museum Biologi sesungguhnya
adalah museum dengan minat khusus. Artinya, dibutuhkan pemandu handal yang
menguasai bidang keilmuan agar diperoleh pemahaman yang benar saat berkunjung
ke sana. Lalu, dijalin pula kerjasama dengan Museum Botani dan Zoologi di Bogor
agar bisa saling tukar menukar speciment baru. Museum juga menjalin kerjasama dengan
LIPI untuk membangun jaringan.
Bagaimana dengan pendanaan? Bu Mamiek
mengakui, Fakultas Biologi dengan segala keterbatasannya berusaha memasukkan
pendanaan museum ke dalam RKAT. Hal itu dilakukan secara bertahap sejak tahun
2005. Sebab, tidaklah mungkin jika harus mengandalkan pemasukan dari tiket
masuk. Museum Biologi UGM hanya memungut tiket masuk sebesar Rp 1.500 untuk
pelajar, Rp 2.000 untuk umum dan wisatawan mancanegara Rp 5.000.
Kita ini sebenarnya sedih
juga karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk museum. Padahal Museum Biologi adalah aset yang tak
ternilai. Mudah-mudahan ada perhatian dari Rektorat agar museum ini tetap dapat
dikelola dan dikembangkan dengan baik, kata
Bu Mamiek. Kabar UGM
Online
Edisi 84/V/21 Juli 2009