Selamat Datang Di Blog Museum Biologi UGM Yogyakarta

Rabu, 15 Mei 2013

Aset Tak Ternilai yang Butuh Perhatian

Gempa yang mengguncang Yogya 27 Mei silam telah melumpuhkan Museum Biologi UGM di Jalan Sultan Agung 22 Yogyakarta. Bagaimana tidak, seluruh rencana yang telah tersusun rapi terpaksa harus terhenti. Upaya untuk mempercantik museum agar pengunjung merasa nyaman misalnya, kini mandeg. Gempa berkekuatan 5,9 Skala Richter itu telah membuat beberapa bagian bangunan museum mengalami kerusakan. Berbagai koleksi awetan basah pun ikut tumpah.

Hasil rapid assessment Tim Assesment Bangunan dan Infrastruktur dari Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik UGM seperti yang terpampang di pintu masuk Museum Biologi -- menyebutkan, Gedung Museum Layak Pakai Setelah Perbaikan. Karena itulah Fakultas Biologi UGM selaku pengelola Museum Biologi, memutuskan menutup museum, meski hanya untuk sementara waktu saja.

Sebenarnya kita sedang membenahi museum. Bahkan kita sudah membuat proposal tentang optimalisasi sumber daya Museum Biologi UGM. Tapi kebetulan ada gempa. Meski tidak merusak koleksi tapi gempa membuat koleksi basah tumpah. Lalu dinding kayu bagian depan mengkah, seperti mau lepas, copot dari tembok. Ini yang membuat kita takut kalau mau masuk ke sana,jelas Dekan Fakultas Biologi UGM, Dr. Siti Sumarmi, di ruang kerjanya, Selasa (1/8). Dia didampingi oleh Wakil Dekan Bidang Akademik Dr. RC Hidayat Soesilohadi, MS.

Menutup museum, meski bersifat sementara, diakui Bu Mamiek sapaan akrab Siti Sumarmi merupakan keputusan yang cukup berat. Terlebih ketika hal itu dilakukan menjelang liburan sekolah tiba. Pasalnya, Museum Biologi UGM telah menjadi alamat libur bagi para siswa dari berbagai sekolah, mulai dari tingkat TK hingga SMTA.

Adalah faktor kedekatan dengan kehidupan keseharian dan lingkungan, kata Hidayat, yang membuat Museum Biologi UGM menjadi salah satu obyek yang wajib dikunjungi para siswa ketika berwisata ke Yogyakarta. Maka tidak mengherankan jika trend kunjungan meningkat dari tahun ke tahun. Dan sudah pasti lonjakan kunjungan terjadi ketika liburan sekolah tiba.

Data dari Museum Biologi UGM menyebutkan selama tahun 2002, museum ini telah dikunjungi oleh 8.260 pengunjung. Tahun 2003 dengan 10.675 pengunjung. Selama tahun 2004 tercatat 14.567 pengunjung. Tahun 2005 dengan 14.508 pengunjung. Dan tahun 2006, sebelum tragedi gempa yang meluluhlantakkan Yogya, Museum Biologi UGM telah dikunjungi 5.305 pengunjung.

Kemarin Pak Rektor mengatakan renovasi akan fifty-fifty. Fakultas 50, universitas 50. Saya tidak tahu apakah ini termasuk untuk museum. Tapi apapun hasilnya, kita usahakan untuk memperbaikinya. Kita akan secepatnya buka. Sedih juga, setiap hari telpon selalu berdering, kapan museum akan dibuka lagi. Kita sudah menolak beberapa calon pengunjung, dan itu kan nggak enak ya, papar Bu Mamiek.

Pengabdian fakultas
Seperti keberadaan museum lainnya, Museum Biologi UGM juga menyimpan kisah menarik. Drs. Anton Sukahar, mantan Kepala Museum Biologi, mengisahkan, semua bermula dari berbagai koleksi milik Fakultas Biologi UGM. Saat itu, koleksi hayati tersimpan di fakultas yang masih menempati Komplek Ngasem, atau lazim disebut Conga. Koleksi hewani menempati salah satu ruangan sekolah yang terletak di Sekip. Sedangkan koleksi herbarium ada di sebagian ruangan di Jalan Sultan Agung 22 Yogya. Adalah Prof. Ir. Moeso Suryonoto yang memimpin koleksi herbarium. Prof. Ir. Gembong memimpin koleksi tumbuhan. Sedangkan koleksi Ngasem dipimpin oleh Prof. Drg. Indrayana dan Prof. Drs. Radioputro. Koleksi Sekip juga dipimpin oleh Prof. Drg. Indrayana.

Saya dan Dekan Fakultas Biologi UGM saat itu, Ir. Suryo Adisewoyo, ingin semua koleksi dibawa ke Sultan Agung, karena di sana ada ruangan yang kosong. Lalu saya ditugasi mindahi ke sana. Oleh Prof. Moeso, koleksi yang sudah terkumpul ini dinamakan, museum. Kalau siapa pendirinya, ya Yayasan Pembina Fakultas Biologi UGM. Peresmiannya, 20 September 1969, setelah Dies Natalis Fakultas Biologi, papar Pak Anton , di kediamannya, Jumat (4/8).

Pak Anton juga mengisahkan, awalnya koleksi museum hanya dimanfaatkan untuk kepentingan ilmu, praktik mahasiswa. Lalu menjelang tahun 1970, guru-guru sekolah menginginkan museum dibuka untuk siswa-siswa sekolah. Atas persetujuan Dekan Fakultas Biologi UGM, museum pun dibuka untuk umum. Awalnya semua gratis. Lalu pengunjung ditarik biaya meski jumlahnya sangat minim. Pemikiran komersial sama sekali tidak ada karena dari awal, museum ini memang untuk pengabdian fakultas, untuk Tri Dharma Perguruan Tinggi, sekaligus menjadi ajang promo bagi Fakultas Biologi, katanya.

Seiring bilangan tahun, koleksi museum terus bertambah. Pak Anton, para dosen dan mahasiswa, serta karyawan museum getol menambah dan mengembangkan koleksi. Museum juga membuka diri, menerima sumbangan koleksi dari BKSDA, kebun binatang dan masyarakat, bahkan dari luar negeri. Kerangka badak Jawa, dugong atau lembu laut, orang hutan, gorila, berbagai awetan basah, awetan kering, fosil, koleksi flora, lalu foto legendaris ular python menelan orang adalah beberapa koleksi tak ternilai, yang mampu menyedot perhatian pengunjung museum.

Museum Biologi pun jadi tersohor. Guru dan siswa senang berkunjung. Didukung oleh tenaga ilmiah yang ada, masuk museum seperti mendapat pencerahan. Karena itu, fakultas dan universitas seharusnya lebih serius meningkatkan museum, termasuk soal koleksi dan tenaga-tenaga ahlinya, papar Pak Anton yang masih mengingat dengan baik, jika semasa kuliah dahulu Rektor UGM, Prof. Dr. Sofian Effendi MPIA, rajin mengunjungi Museum Biologi UGM.
Tak kalah menarik dari koleksi museum adalah soal bangunan museum. Jejak-jejak sejarah menunjukkan bangunan Museum Biologi UGM merupakan salah satu peninggalan bangunan Indis yang masih tersisa di kawasan cagar budaya Bintaran. Hasil Pendataan/Pendokumentasian Bangunan Indis di Kawasan Bintaran Yogyakarta yang dilakukan Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala DIY pada tahun 1997 menyebutkan, gedung museum merupakan salah satu fasilitas perumahan opsir Belanda yang dibangun pada tahun 1890. Fungsinya, untuk mengawasi aktivitas Kraton Pakualaman.

Berdiri di atas lahan seluas 50 x 30 m2, Museum Biologi UGM terdiri dari bangunan induk, bangunan sayap dan belakang. Luas bangunan induk 31 x 14 m2. Bangunan inilah yang difungsikan sebagai museum. Sedangkan bangunan sayap dan belakang dengan atap sirap difungsikan sebagai rumah tinggal. Bangunan induk mengalami perubahan dan penambahan, terutama pada bagian beranda depan/teras, berupa penambahan papan kayu yang dilengkapi jendela dari kaca dan pintu.

Lazimnya sebuah bangunan Indis, pada Museum Biologi UGM juga dijumpai pintu dan jendela dengan ukuran besar, serta tritisan relatif sempit. Dinding museum adalah pasangan bata tebal. Ada pula tiang besi berhias, balastrude teralis besi yang menjadi satu kesatuan dengan tiang besi, dan lisplank hias. Tiang besi berhias adalah produk negara asal/Belanda. Lalu ada pula konsol dari besi plat berbentuk sulur-suluran.

Dari www.faperta.ugm.ac.id diketahui bahwa bangunan Museum Biologi UGM juga pernah digunakan sebagai Akademi Pertanian di Yogyakarta.

Terus berbenah
Kini, tak kurang dari 3.752 koleksi menyesaki ruangan Museum Biologi UGM. Jumlah yang cukup lumayan untuk sebuah ruangan yang sebenarnya tak terlalu luas. Adakah rencana untuk memperluas atau bahkan memindahkan museum ke lingkungan kampus?

Itu sudah rencana. Waktu Rektornya Prof. Jacob bahkan sudah akan dibangun. Namanya, Natural History Museum. Koleksinya Prof. Jacob digabung dengan koleksi Museum Biologi. Gambarnya sudah ada. Rencananya 4 lantai. Tempatnya dekat kantor Prof. Jacob. Waktu itu sudah sampai tingkat presentasi. Tapi lagi-lagi terbentur dana karena terjadi perbedaan kurs dolar, papar Bu Mamiek.

Sekarang, tiada pilihan lain kecuali membenahi museum. Hal pertama yang harus dilakukan, menurut Bu Mamiek, adalah menata fisik dan kebersihan museum. Utamanya, agar pengunjung merasa nyaman. Pengecatan ulang adalah salah upaya yang dilakukan. Lalu identifikasi dan penataan kembali seluruh koleksi. Butuh waktu dan bukan hal yang gampang dilakukan karena tak sembarang orang bisa melakukannya.

Koleksi museum harus bisa jadi referensi. Karakter yang bisa membedakan tetap tak boleh hilang. Saya sudah bilang ke pak Hartanto (Kepala Museum Biologi UGM, red) untuk membuat kegiatan di museum. Bulan ini kita ingin tonjolkan apa, sehingga yang dipamerkan hanya koleksi itu. Yang lain kita simpan supaya pengunjung bisa melihat dengan nyaman. Tidak seperti sekarang, semua koleksi ditaruh di luar. Itu kan pengunjung seperti dijejeli, papar Bu Mamiek.

Tak hanya itu, kata Hidayat, saat ini tengah disusun Tim Museum dengan jumlah yang cukup untuk mengembangkan museum. Keberadaan tenaga ahli menjadi penting karena Museum Biologi sesungguhnya adalah museum dengan minat khusus. Artinya, dibutuhkan pemandu handal yang menguasai bidang keilmuan agar diperoleh pemahaman yang benar saat berkunjung ke sana. Lalu, dijalin pula kerjasama dengan Museum Botani dan Zoologi di Bogor agar bisa saling tukar menukar speciment baru. Museum juga menjalin kerjasama dengan LIPI untuk membangun jaringan.

Bagaimana dengan pendanaan? Bu Mamiek mengakui, Fakultas Biologi dengan segala keterbatasannya berusaha memasukkan pendanaan museum ke dalam RKAT. Hal itu dilakukan secara bertahap sejak tahun 2005. Sebab, tidaklah mungkin jika harus mengandalkan pemasukan dari tiket masuk. Museum Biologi UGM hanya memungut tiket masuk sebesar Rp 1.500 untuk pelajar, Rp 2.000 untuk umum dan wisatawan mancanegara Rp 5.000.

Kita ini sebenarnya sedih juga karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk museum. Padahal Museum Biologi adalah aset yang tak ternilai. Mudah-mudahan ada perhatian dari Rektorat agar museum ini tetap dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik, kata Bu Mamiek. Kabar UGM Online

Edisi 84/V/21 Juli 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar